Selasa, 26 November 2019

UU N0 27 tahun 2004



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2004
TENTANG
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI

Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa
Presiden republik Indonesia,

Menimbang: a. Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional;

b. bahwa pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan para korban dan/ atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi; dan/ atau rehabilitasi;

c. bahwa untuk mengungkap pelanggarn hak asasi manusia yang berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dengan membentukkomisi kebenaran dan rekonsiliasi;

d. bahwa berdasrkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi;

Mengingat: 1. pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945;

2. Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia tahun 2000 nomor 208, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 4026);

Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: Undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi

Bab I
Ketentuan umum
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat di ungkapan berkenaan dengan pelanggarn hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, tempat, maupun waktu.

2. rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.

3. komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang selanjutnya disebut komisi, adalah lembaga indenpenden yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggarn hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

4. pelanggaran hak asasi yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia.

5. korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisk, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggarn hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya.

6. kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

7. restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

8. rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

9. amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan rakyat.

10. hari adalah hari kerja.

Bab II
Asas dan tujuan pembentukan komisi
Pasal 2

Komisi dibentuk berdasarkan; a. kemandirian. b. Bebas dan tidak memihak; c. Kemaslahatan; d. Keadilan; e. Kejujuran; f. Keterbukaan; g. Perdamaian; dan h. Persatuan bangsa.

Pasal 3

Tujuan pembentukan komisi adalah; a. menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan b. mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian.

Bab III
Tempat kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang
Pasal 4

Komisi berkedudukan di ibukota negara republik indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara republik indonesia.

Pasal 5

Komisi mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

Pasal 6

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, komisi mempunyai tugas:

a. menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;

b. melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

c. memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti;

d. menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/ atau rehabilitasi; dan

e. menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada presiden dan dewan perwakilan rakyat dengan tembusan kepada mahkamah agung.

Pasal 7

(1) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, komisi mempunyai wewenang:

  1. melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku, dan/atau pihak lain, baik didalam maupun diluar negeri;
  3. meminta dan medapatkan dokumen resmi dari instansi sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada didalam maupun diluar negeri;
  4. melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik didalam maupun diluar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku, dan barang bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  5. memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;
  6. memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, apa bila perkara sudah didaftarkan kepengadilan hak asasi manusia,

(2) dalam hal tertentu untuk melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, komisi dapat meminta penetapan pengadilan untuk melakukan upaya paksa.

(3) dalam hal komisi meminta penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka pengadilan wajib memberikan penetapan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan penetapan diterima pengadilan.

Bab IV
Alat Kelengkapan
Pasal 8

Komisi mempunyai alat kelengkapan berupa:
a. sidang komisi; dan
b. subkomisi

Pasal 9

(1) sidang komisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a adalah pemegang kekuasaan tertinggi komisi.

(2) sidang komisi terdiri atas seluruh anggota komisi.

(3) sidang komisi sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari seluruh anggota komisi.

(4) keputusan sidang komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sah apa bila disetujui oleh paling sedikit ? 9satu per dua) ditambah 1 (satu) dari anggota sidang komisi yang hadir.

(5) keputusan sidang komisi sebagaimana di maksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat dan bukan merupakan objek peradilan tata usaha negara.

Pasal 10

Sidang komisi berwenang menetap:
a. pemilihan 1 (satu) orang ketua komisi dan 2 (dua) orang wakil ketua komisi;
b. penentuan anggota subkomisi;
c. kode etik anggota komisi;
d. tata tertib dan mekanisme kerja komisi;
e. usulan pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi;
f. program kerja komisi;
g. penentuan atas rekomendasi permohonan kompensasi, restitusi dan/ atau rehabilitasi; dan
h. penentuan atas permohonan amnesti.

Pasal 11

Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b adalah pemegang kekuasaan sesuai dengan wewenang subkomisi yang bersangkutan.

Pasal 12

(1) sidang subkomisi sah apabila masing-masing dihadiri oleh:

  1. 6 (enam) orang anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi;
  2. 3 (tiga) orang anggota subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
  3. 3 (tiga) orang anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

(2) keputusan sidang subkomisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila masing-masing disetujui oleh:

  1. 4 (empat) orang anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi;
  2. 2 (dua) orang anggota subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi;
  3. 2 (dua) orang anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

(3) sidang pengambilan keputusan subkomisi bersifat tertutup dan keputusannya bersifat rahasia

Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sidang komisi dan sidang subkomisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan pasal 12 di atur dalam peraturan komisi.

Pasal 14

Dalam pelaksanaan tugasnya, komisi dibantu oleh sekretariat komisi yang bertugas memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan komisi.

Pasal 15

(1) sekretariat komisi dipimpin oleh seorang sekretaris komisi.

(2) sekretaris komisi diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden.

(3) ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, tugas, dan tanggungjawab sekretariat komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan presiden.

(4) peraturan presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak komisi terbentuk.

Pasal 16

Komisi sebagaimana dimaksud salam pasal 4 terdiri atas: a. subkomisi penyelidikan dan klarifikasi pelanggarn hak asasi manusia yang berat; b. subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; dan c. subkomisi pertimbangan amnesti.

Bab V
Tugas dan wewenang subkomisi
Pasal 17

Subkomisi penyelidikan dan klarifikasi sebagimana dimaksud dalam pasal 16 huruf a, bertugas melakukan penyelidikan dan klarifikasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pasal 18

(1) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, subkomisi penyelikan dan klarifikasi mempunyai wewenang:

  1. menerima pengaduan, mengumpulkan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggarn hak asasi manusia yang berat dari korban atau pihak lain;
  2. melakukan pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggarn hak asasi manusia yang berat;
  3. mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada didalam maupun diluar negeri;
  4. memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;
  5. mengklarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggarn hak asasi manusia yang berat;
  6. menentukan kategori dan jenis pelanggarn hak asasi manusia yang berat sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia; dan
  7. membentuk unit penyelidikan dan klarifikasi.

(2) dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 19

Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/ atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yangb berat.

Pasal 20

Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi mempunyai wewenang:

a. membuat pedoman pemberian kompensasi, restitusi, dan /atau rehabilitasi bagi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;

b. melakukan klarifikasi kepada korban dan memeriksa kelengkapan syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi, restitusi, dan /atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;

c. mengusulakn kepada komisi bentuk pemberian kompensasi, restitusi, dan/ atau rehabilitasi yang bersifat umum untuk memulihkan hak dan martabat korban dan/ atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Pasal 21

(1) pelaksanaan pemberian kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal keputusan komisi ditetapkan.

(2) ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pelaksanaan pemberian kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

Subkomisi pertimbangan amnesti sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf c, bertugas memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum mengenai permohonan amnesti kepada korban.

Pasal 23

Subkomisi pertimbangan amnesti mempunyai wewenang:

a. menerima pengakuan tentang pelanggarn hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia;

b. menyusun kriteria, syarat, dan tatacara permohonan amnesti untuk pelanggarn hak asasi manusia yang berat; dan

c. melakukan klarifikasi kepada korban dan/atau pelaku terhadap pengakuan atau pengingkaran pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Bab VI
Tatacara penyelesaian permohonan kompensasi,
Restitusi, rehabilitasi, dan amnesti
Pasal 24

Dalam hal komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 9sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.

Pasal 25

(1) keputusan komisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dapat berupa; a. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/ atau rehabilitas; atau b. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti.

(2) dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi wajib mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh masyarakat kepada komisi.

(3) rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang komisi di sampaikan kepada presiden untuk mendapatkan keputusan.

(4) presiden wajib meminta pertimbangan amnesti kepada dewan perwakilan rakyat dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima.

(5) dewan perwakilan rakyat wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan presiden diterima.

(6) keputusan presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan oleh presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertimbangan dewan perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima.

Pasal 26

(1) keputusan presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (6) disampaikan kembali kepada komisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diputuskan.

(2) komisi menyampaikan keputusan presiden sebagaimana di maksud pada ayat (1) kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 (ujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh komisi.

Pasal 27

Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.

Pasal 28

(1) dalam hal antara pelaku dan korban pelanggarn hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian maka komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk memberikan amnesti.

(2) saling memaafkan dan melakukan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah dilakukan.

(3) pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan ketua komisi.

Pasal 29

(1) dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pertimbangan amnesti wajib diputuskan oleh komisi.

(2) dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan maka komisi memutus pemberian rekomendasi amnesti secara mandiri dan objektif.

(3) dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan di ajukan kepengadilan hak asasi manusia ad - hoc.

Pasal 30

Subkomisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 wajib membuat dan menyampaikan laporan mengenai hasil pelaksanaan tugasnya kepada komisi.

Bab VII
Keanggotaan
Pasal 31

Keanggotaan komisi diperoleh berdasarkan seleksi dan pemilihan dari suatu daftar nominasi yang diajukan oleh perseorangan, kelompok orang, atau organisasi kemasyarakatan.

Pasal 32

(1) seleksi dan pemilihan anggota komisi didasarkan pada kualifikasi keahlian dan integritas moral yang tinggi dan memenuhi persyaratan sebagai berikut. a. warga negara indonesia; b. Sehat jasmani dan rohani; c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; d. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; e. Setia kepada pancasila dan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945; f. Memiliki pengetahuan atau kepedulian di bidang hak asasi manusia; g. Tidak berstatus sebagai anggota tentara nasional indonesia atau kepolisian negara republik indonesia; h. Bersedia melepaskan diri dari keanggotaan partai politik , organisasi kemasyarakatan, atau lembaga swadaya masyarakat; dan i. Tidak pernah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

(2) selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi dan pemilihan anggota komisi juga harus didasarkan pada pertimbangan: a. geografi; b. etnis; c. agama; dan d. kepakaran.

Pasal 33

(1) untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota komisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31, dilakukan oleh presiden.

(2) dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), presiden membentuk panitia seleksi.

(3) panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:

  1. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan
  2. 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.

(4) anggota panitia seleksi tidak dapat di calonkan sebagaimana anggota komisi.

(5) ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota komisi, diatur dengan peraturan presiden.

Pasal 34

(1) panitia sleksi mengusulkan 42 (empat puluh) dua orang calon yang telah memenuhi persyaratan kepada presiden.

(2) presiden memilih sebanyak 21 (dua puluh satu) orang dari 42 (empat puluh dua) orang calon anggota komisi yang diajukan oleh sidang komisi yang diajukan oleh panitia seleksi.

(3) presiden mengajukan 21 (duapuluh satu) orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada dewan perwakilan rakyat untuk memperoleh persetujuan.

Pasal 35

(1) dewan perwakilan rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota komisi diterima.

(2) dalam hal perwakilan rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang atau lebih calon yang diajukan oleh presiden maka dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota komisi, dewan perwakilan rakyat harus memberikan jawaban disertai dengan alasannya.

(3) dalam hal dewan perwakilan rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap calon yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka presiden mengajukan calon pengganti sesuai dengan jumlah calon anggota yang tidak disetujui.

(4) dewan perwakilan rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaiman dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengujuan calon pengganti diterima.

Pasal 36

(1) dalam hal calon anggota yang diajukan oleh presiden telah memperoleh persetujuan dewan perwakilan rakyat, presiden menetapkan calon anggota komisi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima presiden.

(2) ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan keputusan presiden.

Pasal 37

Anggota komisi diberhentikan karena:

a. meninggal dunia;

b. masa tugasnya telah berakhir;

c. atas permintaan sendiri;

d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;

e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan keputusan sidang komisi yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas komisi; atau

f. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana.

Pasal 38

Anggota komisi sebanyak 21 (dua puluh satu) orang dengan susunan sebagai berikut: a. 3 (tiga) orang pimpinan; b. 9 (sembilan) orang anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; c. 5 (lima) orang anggota subkomisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi; dan d. 4 (empat) orang anggota subkomisi pertimbangan amnesti.

Pasal 39

(1) pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua

(2) pemilihan dan pengangkatan ketua dan wakil ketua komisi ditetapkan melalui sidang komisi.

Pasal 40

(1) sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil dan ketua komisi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dihadapan presiden.

(2) sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

" saya bersumpah/ atau berjanji:
bahwa saya; untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan pancasila sebagai dasar negara, undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara republik indonesia.
Bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan objektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seseorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

Pasal 41

Setiap subkomisi memilih dan mengangkat ketua dan wakil ketua masing-masing subkomisi.

Bab VIII
Pembiayaan
Pasal 42

Sumber pembiayaan bagi komisi diperoleh dari: a. anggaran pendapatan dan belanja negara; dan b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

Sumber keuangan untuk pembiayaan pemberian kompensasi dan/ atau rehabilitasi yang menjadi beban negara dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Bab XI
Ketentuan lain
Pasal 44

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad-hoc.

Bab X
Ketentuan Penutup
Pasal 45

(1) komisi melaksanakan tugas selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) diucapkan dan dapat diperpanjang selama 2 (2) tahun.

(2) ketentuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan presiden atas usul komisi.

(3) pembentukan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal undang-undang ini diundangkan.

Pasal 46

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengethuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran negara Republik indonesia.

Disahkan di jakarta
Pada tanggal 6 oktober 2004
Presiden Republik Indonesia
Ttd
Megawati soekarno Putri

Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal 6 Oktober 2004
Sekretaris Negara Republik Indonesia
Ttd
Bambang Kesowo

Selasa, 19 November 2019

Rule of Lasw




 MODUL  :  R ULE OF LA W  
 Pointers
 

 

Deskripsi Pembelajaran:
Modul ini membahas tentang: Pengertian, ciri-ciri Rule of Law, hubungannya dengan Negara hukum Pancasila, prinsip yang harus dilaksanakan serta penjabaran Rule of Law, bagaimana menjamin terwujudnya HAM.

 Capaian Pembelajaran
Dengan kompetensi tersebut mahasiswa diharapkan peka terhadap permasalahan pelaksanaan “ Rule of Law “ yanmg ada dilingkungannya, mampu menjadi katalis bagi proses penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif untuk tumbuh-suburnya kesadaran akan Rule of law.

  Uraian Materi
1.   Latar belakang Rule of Law
Rule of law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul bersamaan dengan kelahiran Negara konstitusi dan demokrasi pada abad 19 di Eropa. Doktrin tersebut lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan  meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan Negara.

Lahirnya konsep negara hukum bersamaan pula dengan lahirnya negara demokrasi, mengingat salah satu ciri suatu negara disebut demokrasi adalah bila negara tersebut melaksanakan Rule of Law. Secara sederhana pengertian negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di negara yang berdasarkan hukum, negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Di dalam negara hukum, hukum sebagai dasar diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi atau hukum dasar negara. Dengan demikian di dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum bukan kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasarkan pada konstitusi. Negara berdasarkan atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi sehingga  ada istilah supremasi hukum.
Konstitusi berisi   kesepakatan  atau konsensus tentang Rule of lAw sebagai
landasan pemerintahanatau penyelenggaraan negara (the basis of thego vernment). Daiam kesepakatan ini harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama.
Negara hukum menurut Friedman, dibedakan antara pengertian formal (in the formal sense), dan pengertian hakiki (ideological sense). Dalam pengertian formal Negara hukum tidak lain adalah "organized public power" atau kekuasaan umum yang terorganisasikan. Oleh karena itu, setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang namanya negara) mempunyai konsep negara hukum, termasuk negara-negara otoriler sekalipun. Negara hukum dalam pengertian hakiki (materiil), sangat erat hubungannya dengan menegakkan konsep negara hukum secara hakiki, karena dalam pengertian
hakiki telah menyangkui ukuran-ukuran "tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Cara menentukan ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk dalam suatu konsep negara hukum sangat sulit, karena setiap masyarakat yang melahirkan konsep tersebut berbeda satu sama lain dan karenanya "rasa keadilan" disetiap masyarakat berbeda pula.

Dilihat dari sisi sejarah perkernbangan konsep negara hukum, ada yang disebut negara hukum formal dan negara hukum material. Negara hukum formal adalah negara hukum dalam arti sempit yaitu negara yang membatasi ruang geraknya dan bersifai pasif terhadap kepentingan rakyat negara. Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan kepentingan warga negaranya. Urusan ekonomi diserahkan pada warga negara, yang berarti warga negara dibiarkan untuk mengurus kepentingan ekonominya sendiri maka dengan sendirinya perekonomian negara akan sehat (machtstaat). Konsep ini terjadi di Eropa sekitar abad ke 19 dan ternyata penerapannya mengundang kecaman banyak warga negaranya terutama pasca perang dunia ke 2 di mana negara dianggap lambat dalam dan tidak bertanggung jawab atas segala dampak ekonomi yang timbul pasca perang tersebut. Dorongan yang semakin kuat memunculkan suatu gagasan baru yang disebut sebagai \velfare state, atau negara kesejahteraan.

Sebagai suatu konsep hukum, negara kesejahteraan ini disebut sebagai konsep negara hukum material. Dalam konsep ini, pemerintah bisa bertindak secara lebih luas dalam urusan dan kepentingan publik jauh melebihi batas-batas yang pernah diatur dalam konsep negara hukum formal. Pemerintah memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan warga negaranya dengan dasar  bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.

2.   Ciri-ciri  Rule of Law

Berbagai doktrin yang menunjukkan ciri-ciri dari suatu negara hukum muncul seiring dengan berkembangnya konsep negara hukum baik di negara menganut sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam sistem hukum Anglo
Saxon, negara hukum sering disebut Rule of Law, sedangkan di negara yang menganutsistem hukum Eropa Kontinental disebut sebagai Rechtstaat.

Frederich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtstaat meliputi :
a.                 Hak Asasi Manusia ;
b.                Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin Hak Asasi Manusia yang biasa dikenal sebagai trias politica ;
c.                 Pemerintahan berdasarkan peraturan peraturan ;  
d.                Peradilan administrasi dalam perselisihan
 
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum anglo saxon memberi ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum ;
b.      kedudukan yang sama di depan hukum ; dan
c.        terjaminnya Hak Asasi Manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.

Sedangkan, International Commision of Jurist pada konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 merumuskan ciri-ciri negara demokratis di bawah Rule of Law, yang meliputi:
a.  Perlindungan konstitusionaL dalam arti bahwa konstitusi selain dari pada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin ; -
b.    badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ;
c.    kebebasan untuk menyatakan pendapat;
d.    pemilihan umum yang bebas ;
e.    kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan
f.    pendidikan kewarganegaraan.

            Indonesia tidak secara murni menganut konsep rechstaat, dari tradisi hukum Negara-negara Eropa  Kontinental yang berdasarkan pada Civil Law System dan Legisme ataupun konsep rule of law, dari tradisi hukum Negara Anglo Saxon yang berdasar pada common Law system. Tidak dipungkirin bahwa  keberadaan Negara hokum Pancasila diilhami ole hide dasar rule of law dan rechssta. Konsep Negara hukum Pancasila pada hakekatnya memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rule of law maupun rechsstaat yang saling melengkapi dan terintegrasi selain menerima prinsip kepastian hokum sebagai sendi utama rechsstaat, juga sekaligus menerima prinsip rasa keadilan dalam the rule of law.

Prinsip yang harus dilaksanakan dalam rule of law yairu: 1.Supremacy of law; 2.Equality befor the law;3.due process of law. Dalam pelaksanaannya ketiga prinsip tersebut dijabarkan dalambentuk: 1) Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) Perdilan yang merdeka
3) legalitas hukum dalam segala bentuk.[Enny Nurbaningsih].

Di Indonesia, Franz Magnis Suseno mengemukakan adanya 5 (lima) ciri negara hukum sebagai salah satu ciri negara demokrasi. Kelima ciri negara hukum adalah sebagai berikut:
a.    Fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan sebuah undang-undang dasar;
b.   Undang-undang   dasar   menjamin Hak Asasi Manusia yang paling pen ting,karena tanpa jaminan tersebut, hukum menjadi sarana penindasan ;
c.    Badan-badan negara menjalakan kekuasaan masing-masing dan hanya taat pada dasar hukum yang berlaku ;
d.   Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara ;  
e.    Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

Sebagian ciri negara hukum yang telah diuraikan di atas khususnya dalam konsep negara hukum material, dalam penerapannya di berbagai negara demokrasi modern hampir semua dilaksanakan, hanya saja seringkali law in the book seringkali berbeda dengan law in action, atau das sollen berbeda dengan das sein. Penyimpangan antara aturan hukum yang telah dibuat dan seharusnya berkedudukan di atas segalanya dengan kenyataan bahwa intervensi kekuasaan mempengaruhi pelaksanaan hukum menjadikan hukum dipengaruhi oleh anasir-anasir non hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam proses penegakan hukum. Setidaknya ciri-ciri negara hukum di atas dapat menjadi indikator pelaksanaan konsep negara hukum pada suatu negara.

. Hal ini berarti konsep negara hukum sebagai suatu institusi sosial, memiliki struktur sosiologisnya sendiri, dan mempunyai akar budaya sendiri. Dengan demikian, konsep Indonesia sebagai negara hukum haruslah bercirikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai dasar mengingat nilai-nilai yang digali dari Pancasila adalah hasil refleksi filosofis dengan obyek bangsa Indonesia sendiri, dan yang lebih penting lagi bangsa Indonesia adalah subyek pendukung Pancasila. Satjipto menyebut sebagai Rule of Pancasila. 3. Negara Hukum Indonesia

Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum, selain itu secara nyata pasal-pasal lainnya

dalam UUD 1945 mendukung ciri-ciri Indonesia sebagai negara hukum. Pasal-pasal tersebut meiiputi:

1)             Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan : Negara Indonesia adalah negara hukum
2)   Pasal 24 ayat (1) dinyatakan : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
3)   Pasal 27 ayat (1) dinyatakan : Segala warganegara bersamaan kedudukannya di ^     dalam    hukum    dan   pemerintahan   dan   wajib   menjunjung   hukum    dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
4)    Pasal 28 huruf a s/d i memuat perlindungan atas HAM.

Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan Rule of Law itu pun selanjutnya dijabarkan lagi dalam undang-undang dan neraturan pelaksana lainnya yang secara nyata menjadikan Indonesia sebagai negara hukum. Setidaknya, saat ini ada berbagai undang-undang yang berkaitan dengan itu, seperti : UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Mahkamah Konstitusi, UU tentang Pemilu, UU tentang Parpol dan sebagainya.

Konsep Indonesia sebagai negara hukum haruslah disusun dalam suatu sistem hukum yang saling mendukung dan saling berkaitan dengan satu tujuan yaitu terpenuhinya negara hukum secara hakiki. Sistem hukum nasional didasarkan pada tata urutan tertib hukum (legal order) yang diatur dalam Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan tersebut di atas dan berbagai peraturan perundangan yang ada di Indonesia secara hirarkis antara urutan peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan secara material dengan peraturan yang ada di atasnya. Dengan konsep otonomi daerah yang berlaku saat ini berbagai peraturan daerah baik yang ada di pemerintahan propinsi, pemerintahan kabupaten, dan pemerintahan kota haruslah sesuai dan sejalan dengan konsep negara hukum yang diatur dalam UUD 1945 dan UU lainnya. 4. Politik Hukum Indonesia

Politik hukum Indonesia yang dimaksudkan di sini adalah kebijakan nasional mengenai hukum dan pembangunan hukum di Indonesia. Pada masa sekarang sehubungan dengan MPR yang tidak lagi berwenang menetapkan Garis Besar Haluan Negara , maka haluan negara tentang penyelenggaraan bernegara menjadi tugas dan tanggung jawab presiden untuk merumuskannya dalam suatu rencana pembangunan nasional

Kurun waktu 2004-2009 ini telah keluar rencana pembangunan nasional yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009. Dalam rencana pembangunan tersebut tertuang arah kebijakan dan program berbagai bidang termasuk pembangunan bidang hukum. Arah kebijakan pembangunan bidang hukum tertuang dalam bab 9 tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum. Naskah RPJMN 2004-2009,berisikan sasaran, arah kebijakan, dan program-program pembangunan hukum. a. Sasaran Politik Hukum Nasional.

Sasaran politik hukum nasional untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum. Sasaran yang akan dilakukan dalam tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif ; terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional, dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. b. Arah Kebijakan Hukum Nasional.

Pembenahan sistem dan politik hukum dalam lima tahun mcndatang diarahkan kepada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum. Salah satu upaya untuk mewujudkan arah kebijakan hukum nasional tersebut adalah dengan menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-undangan ; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional.
 
Program Pembangunan Hukum Nasional.
Langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum dijabarkan ke dalam program-program pembangunan sebagai berikut.
1)  Program Perencanaan Hukum
Program ini ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya dibidang hukum dalam menghadapi berbagai isue strategis dan global yang secara cepat perlu diantisipasi agar pencgakkan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan Program perencaan hukum diharapkan akan menghasilkan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik pada saat ini maupun masa mendatang, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap HAM serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat secara keseluruhan.

2)  Program Pembentukan Hukum
Program ini dimaksudkan untuk menciptakan berbagai perangkai peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang akan menjadi landasan hukum untuk berperilaku tertip dalam rangka menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3)  Program    Peningkatan    Kineria    Lembaga    Peradilan    dan    Lembaga  Penegakkan hukum lainnya

Program ini ditujukan untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga penegakkan hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu yang melibatkan antara lain, mahkamah agung, kepoiisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, dan lembaga pemasyarakatan serta praktisi hukum sebagai upaya mempercapat pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan. Dengan program ini diharapkan terwujudnya lemaga peradilan dan lembaga penegakkan hukum yang transparant, akuntabel dan berkualitas dalam bentuk putusan pengadilan yang memihak kepada kebenaran dan keadilan masyarakat.

4)  Program Peningkatan Kualitas Profesi Hukum
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesional aparat penegak hukum yang melipuli hakim, polisi, jaksa, petugas pemasyarakatan, petugas keimigrasian, perancang peraturan perundang-undangan, praktisi hukum,  dan  sebagainya.  Dengan  program   ini  diharapkan  tercipta aparatur hukum    yang    profesional    dan   berkualitas   serta   cepat   tanggap   dalam mengantisipasi   bcrbagai   permasalahan   hukum   dalam   rangka   pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan. 5)  Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Hak Asasi Manusia Program ini ditujukan untuk menumbuh kembangkan serta meningkatkan kadar kesadaran hukum dan HAM masyarakat termasuk para penyelenggara negara agar mereka tidak hanya mengetahui dan menyadari hak dan kevvajibannya tetapi juga mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum serta menghormati HAM.